Mengajar adalah profesi yang mulia, tidak dapat disamai oleh profesi lain apapun dalam hal keutamaan dan kedudukan. Semakin bermanfaat materi ilmunya maka semakin tinggi pula kemuliaan dan derajat pemiliknya. Dan ilmu yang paling mulia secara mutlak adalah ilmu syari’at, baru kemudian ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Tugas seorang pengajar tidak sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik saja bahkan ia merupakan tugas yang berat dan sulit –tetapi akan mudah bagi siapa yang dimudahkan Allah-. Tugas tersebut menuntut seorang pengajar bersifat sabar, amanah, ketulusan, dan mengayomi yang di bawahnya. Hendaklah seorang pengajar yang baik itu, meneladani cara mengajar ala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena beliaulah suri teladan bagi umat manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلُ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu,” (Al Ahzab: 21)
Berikut beberapa karakter-katakter yang hendaknya dimiliki oleh seorang guru:
1. Mengikhlaskan Mengajarkan Ilmu untuk Allah
Ini adalah sebuah perkara yang agung yang dilalaikan banyak kalangan pengajar dan pendidik, yaitu membangun dan menanamkan prinsip mengikhlaskan ilmu dan amal hanya untuk Allah. Berapa banyak ilmu yang bermanfaat dan amalan-amalan yang mulia untuk umat, namun pemiliknya tidak mendapat bagian manfaat darinya sedikitpun dan hilang begitu saja bersama hembusan angin bagaikan debu yang beterbangan. Demikian itu disebabkan karena pemiliknya tidak mengikhlaskan ilmu dan amal mereka serta tidak menjadikannya di jalan Allah. Tujuan mereka bukan untuk memberikan manfaat kepada saudara-saudara mereka kaum muslimin dengan ilmu dan pengetahuan serta amalan-amalan tersebut. Tujuan mereka hanya semata meraih kehormatan atau kedudukan dan yang sejenisnya, karena itu sangat layak bila amalan-amalan tersebut hilang begitu saja bagaikan debu yang beterbangan. Ya, benar, adakalanya mereka itu mendapatkan manfaat dengan ilmu dan pengetahuan mereka di dunia, berupa sanjungan, pujian, dan sejenisnya, tetapi ujung-ujungnya bermuara kepada kesirnaan. Barangkali hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu melukiskan kenyataan ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“…dan seorang laki-laki yang belajar dan mengajarkan ilmu serta membaca Al Qur‘an, lalu dia didatangkan dan Allah mengingatkan nikmat-nikmatNya (kepadanya) dan dia pun mengenalnya. Allah berfirman, ‘Apa ynag kamu lakukan padanya?’ Dia berkata, ‘Saya belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur‘an demi Engkau.’ Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar ilmu supaya dikatakan alim; Kamu membaca Al Qur‘an supaya dikatakan qari, dan itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam api neraka…”. (HR. Muslim, An Nasa‘i, Ahmad, dan At Tirmidzi)
Oleh karena itu, persembahkanlah seluruh amal hanya untuk Allah saja tanpa mengharap pujian. Adapun jika setelah itu ia memperoleh sanjungan dan pujian dari manusia, itu adalah anugerah dan nikmat dari Allah, dan segala puji hanyalah milik Allah.
Ibnu Rajab rahimahullaah berkata,
“ Adapun jika dia melakukan sebuah amalan, murni untuk Allah, kemudian Allah melemparkan pujian baik baginya di hati orang-orang Mukmin dengan hal itu, lalu dia merasa senang dengan anugerah dan rahmat Allah serta merasa gembira dengannya, maka hal itu tidak mengapa baginya. Pada makna ini terdapat hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya tentang laki-laki yang melakukan sebuah amalan ikhlas untuk Allah berupa kebaikan, yang lantaran itu ia dipuji oleh orang-orang, maka beliau bersabda, ‘Itu adalah berita gembira orang beriman yang disegerakan’. “(HR. Muslim) -selesai nukilan-
Poros dari semua terletak pada niat, dan niat tempatnya adalah di dada dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ta’ala.
2. Jujur
Sifat jujur adalah mahkota di atas kepala seorang guru pengajar. Jika sifat itu hilang maka dia akan kehilangan kepercayaan manusia akan ilmunya dan pengetahuan yang ia sampaikan. Jujur adalah kunci keselamatan hamba di dunia dan di akhirat. Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang jujur dan memotivasi orang-orang mukmin agar termasuk di antara mereka dengan firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119).
Karakter Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berupa sifat jujur, memiliki pengaruh besar di dalam masuknya banyak manusia ke dalam agama Allah. Kejujuran seorang pengajar akan menanamkan rasa percaya anak didik kepadanya dan kepada perkataannya serta menghormatinya. Kejujuran seorang pengajar akan terlihat pada konsekuensi-konsekuensi tanggung jawab yang dipikul di atas pundaknya, yang diantaranya adalah mentransfer pengetahuan lengkap beserta dengan hakekat dan pengetahuan-pengetahuan yang dikandungnya kepada para generasi penerus, sehingga berdusta kepada siswa akan menjadi perintang dalam proses penyampaian ilmu dan menghilangkan kepercayaan dan efeknya juga akan merambat ke masyarakat.
3. Berakhlak Mulia dan Terpuji
Tidak diragukan lagi bahwa kata yang baik dan tutur bahasa yang bagus mampu memberikan pengaruh di jiwa, mendamaikan hati, serta menghilangkan dengki dan dendam dari dada. Demikian juga raut wajah yang tampak dari seorang pengajar, ia mampu menciptakan umpan balik positif atau negatif pada siswa karena wajah yang riang dan berseri merupakan sesuatu yang disenangi dan disukai jiwa. Adapun bermuka masam dan mengernyitkan dahi adalah sesuatu yang tidak disukai dan diingkari jiwa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling agung akhlaknya, lemah lembut dan penuh kasih sayang, bukan sosok yang bersikap keras lagi berhati kotor, tidak pula berlaku ekstrim.
Dari Atha‘ bin Yasar, dia berkata, “Saya bertemu Abdullah bin Amr bi Al Ash radhiyallaahu ‘anhuma, saya berkata,
‘Ceritakanlah padaku tentang karakter Rasulullah di dalam Taurat.’ Dia berkata, ‘Ya, demi Allah, sungguh di dalam Taurat beliau disifatkan dengan sebagian karakter beliau yang disebutkan di dalam Al Qur‘an, ‘Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi peringatan, juga penganyom bagi kaum yang tidak bisa baca tulis. Kamu adalah hambaKu dan rasulKu. Aku namai kamu dengan al Mutawakkil, tidak keras dan juga tidak kasar, tidak suka berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan, malainkan memberi maaf dan bersikap lapang’. Allah tidak akan mewafatkan beliau hingga Dia meluruskan agama yang bengkok dengan beliau, sampai mereka mengucapkan Laa Ilaha Illallah, serta Dia membuka mata-mata yang buta dengan beliau, juga telinga-telinga yang tuli, dan hati-hati yang lalai.” (HR.Bukhari dan Ahmad)
Karakter-karakter tersebut haruslah ada dalam dakwah karena orang yang didakwahi butuh kepada orang yang bersikap lemah lembut.
4. Tawadhu‘ (Rendah Hati)
Tawadhu‘ adalah sikap terpuji, walaupun bentuk merendahkan diri, hal itu jika di sisi Allah, maka betapa nikmat dan lezatnya karena ubudiyah tidak akan terealisasi dan tidak akan sempurna kecuali dengan sikap merendahkan diri kepada Allah. Adapun sikap merendah kepada makhluk, maka hal itu khusus hanya pada orang-orang mukmin saja.
Jika seseorang muslim memerlukan sikap tawadhu‘ supaya sukses dalam hubungan vertikalnya dengan Allah kemudian hubungan horizontalnya dengan masyarakat, maka tingkat kebutuhan seorang guru kepadanya lebih tinggi dan lebih kuat karena profesinya yang bersifat ilmu, pengajaran, dan pengarahan mengharuskan adanya komunikasi dengan anak didik dan dekat dengan mereka.
Jika seorang pengajar berlaku sebaliknya yaitu takabbur (sombong) maka tidak akan mampu meraih tujuan dari mengajar.
Wahai para guru…jadilah engkau teladan bagi muridmu…
Tularkanlah ilmumu…
Bersahabatlah dengan mereka dan sertailah dengan akhlak yang mulia…
Niscaya kenikmatan itu akan nampak di depan matamu
Dan begitu terasa dalam hatimu
Bersambung insya Allaah…
Penyusun: Lilis Mustikaningrum
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Mengutip dari buku “Begini Seharusnya Menjadi Guru” dengan beberapa tambahan.
Judul asli : Al Mu’allim al Awwal (Qudwah Likulli Mu’allim wa Mu’allimah)
Penulis : Fu’ad bin Abdul Aziz asy Syalhub
dikutip dari Muslimah.Or.Id